Minggu, 21 April 2013

Menghidupkan Hubungan Industrial Pancasila yang Belum Sadar (TULISAN SOFTSKILL)


Menghidupkan  Hubungan Industrial Pancasila yang Belum Sadar


Indonesia telah memiliki sejarah panjang hubungan industrial. Walau demikian, hingga saat ini begitu banyak permasalahan di bidang hubungan industrial itu yang masih terjadi dan menimbulkan perpecahan antara pekerja di satu pihak dan pengusaha di pihak lain. Tanpa adanya perbaikan pola hubungan industrial antara kedua pihak tersebut, tidak pernah terjadi kesamaan persepsi di dalam menyikapi masalah yang terjadi di antara mereka.Oleh karena itu, para pihak di dalam hubungan industrial harus melakukan upaya-upaya strategis untuk memperbaiki nasib dan pola hubungan mereka.
Upaya-upaya perbaikan tersebut sebagian besar berkaitan dengan pengusulan kebijakan baru yang berkaitan dengan peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja. Tindakan membangun aliansi baru untuk memperluas kekuatan dan kemampuan mereka dalam melindungi kelompoknya; melakukan tindakan-tindakan kolektif seperti melakukan pemogokan atau demonstrasi yang bertujuan untuk memperbaiki syarat hubungan kerja di tempat mereka bekerja; dan berbagai upaya lain yang tidak dapat dirumuskan satu demi satu telah dilakukan oleh keduabelah pihak. Namun demikian, tidak terjadi perbaikan yang signifikan terhadap kondisi hubungan industrial di Indonesia.
Banyak orang yang concern pada masalah ketenagakerjaan di Indonesia akan memikirkan kembali tentang hal apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pola hubungan industrial di Indonesia. Kali ini saya berpikir tentang ‘nilai-nilai apa yang sebenarnya merupakan kekayaan kita dan dapat kita gali kembali, untuk menumbuhkan hubungan industrial yang ideal di antara para buruh dan majikannya’.Dari hasil kontemplasi saya, saya menemukan nilai-nilai luhur dalam Hubungan Industrial Pancasila sebagai jawabannya (selanjutnya disebut sebagai HIP).
Mengapa HIP? HIP sudah lama dilupakan. Dalam praktek bahkan konsep ini mungkin sudah lama ditinggalkan.Apakah HIP itu? Konsep ini mengatur hubungan antara para pelaku dalam proses produksi (buruh dan majikannya) yang berlandaskan pada sila-sila dari Pancasila, dasar negara Indonesia. HIP ini sangatlah unik. Hubungan industrial dalam masyarakat sosialis atau liberal cenderung melihat para pihak di dalam hubungan industrial (majikan dan buruh) sebagai pihak yang berhadapan (oposisi). Pihak majikan akan mempekerjakan pekerjanya untuk memperoleh keuntungan perusahaan yang sebesar-besarnya. Untuk menghadapi hal tersebut, pihak pekerja kemudian akan menghimpun kekuatan guna menandingi kekuatan sosial ekonomis majikan dengan menggunakan kekuatan kolektif, misalnya melakukan pemogokan. Inilah yang dimaksud dengan upaya pengimbangan. HIP memiliki pendekatan yang berbeda. Pada saat ditemukannya, nilai-nilai Pancasila ditumbuhkan oleh masyarakat adat Indonesia yang bersifat komunal.Dalam sistem tersebut, sifat kebersamaan dan gotong royong merupakan sendi penting di dalam hubungan industrial tersebut.Dengan demikian, majikan dan buruh bukanlah pihak yang berseberangan, melainkan pihak yang berdampingan dalam upaya mencapai hal yang paling menguntungkan dalam hubungan kerja mereka. Mereka memiliki satu tujuan yang sama (common goal), yaitu mencapai keuntungan. Bagaimana hal ini dapat dicapai, akan dijawab melalui penjabaran hakikat dari HIP di bawah ini.
Mencari jejak Pancasila dalam hubungan industrial di Indonesia
Di bawah ini akan dilakukan apakah semua nilai Pancasila telah diakomodir di dalam peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan industrial. Sila Ketuhanan yang maha esa telah dikonkritkan ke dalam beberapa aturan, yang sifatnya sangatlah khas Indonesia.Peraturan tentang pelarangan melakukan diskriminasi berdasarkan alasan agama, pemberian Tunjangan Hari Raya pada saat buruh merayakan hari besar keagamaan dan hak untuk mendapatkan cuti untuk menjalankan ibadah keagamaan merupakan contoh-contoh dari diterapkannya sila pertama ini di dalam hubungan industrial di Indonesia.
Sila kemanusiaan yang adil dan beradab juga telah menampakkan jejaknya di dalam berbagai peraturan di Indonesia.Sila ini diturunkan ke dalam beberapa asas, antara lain: asas adil dan merata meski masih tidak dapat dikatakan telah sukses dilaksanakan, namun paling tidak penerapannya misalnya dalam menentukan upah minimum masihlah terlihat. Asas peri kehidupan dalam keseimbangan juga merupakan asas yang harus diterapkan misalnya dalam penciptaan hubungan kemitraan antara buruh dan majikan sebagaimana diatur di dalam pasal 103 ayat 3 UU Ketenagakerjaan adalah perwujudan dari asas ini.
Sila persatuan Indonesia juga terlihat dalam pengelolaan pasar kerja di Indonesia, yang informasi lowongan kerja dan pencari kerjanya dikelola secara nasional.Hal ini menggambarkan upaya untuk mempertemukan tenaga kerja yang berasal dari daerah padat angkatan kerja tetapi rendah kesempatan kerjanya dengan lowongan pekerjaan yang sesuai dengan ketrampilan atau minat dari tenaga kerja tersebut, walau lowongan pekerjaan tersebut terletak di daerah yang berbeda dengan tempat tenaga kerja tersebut berasal.
Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan mengandung nilai yang paling banyak diterapkan di dalam aktivitas berorganisasi dari para buruh. Dalam hal terjadinya perselisihan hubungan industrial, prinsip penyelesaiannya adalah melalui proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Mengingat anggota dari serikat buruh jumlahnya banyak, dalam proses perundingan, para anggota serikat pekerja akan diwakili oleh orang-orang yang ditunjuk oleh Serikat Buruh (biasanya pengurus Serikat Buruh).
Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan sila yang paling erat berkaitan dengan masalah hubungan industrial.Hal terpenting yang merupakan perlindungan wajib bagi buruh seperti hak untuk memperoleh jaminan sosial, hak untuk memperoleh upah yang tidak lebih rendah daripada UMR, hak untuk tidak dieksploitasi baik atas dasar jam kerja maksimal dan jam istirahat minimal dimandatkan oleh sila ini.
Masih banyak hal-hal yang telah dilaksanakan di dalam praktek hubungan industrial di Indonesia yang ternyata dapat dikaitkan dengan atau merupakan turunan dari lima sila Pancasila. Jika diperhatikan dengan teliti, isi dari hal-hal yang diturunkan dari sila-sila Pancasila sebagaimana dicontohkan di atas ternyata tidak terlalu berbeda dengan isi Hukum Perburuhan yang ditemukan di dalam hukum positif dari berbagai negara atau yang ditemukan di dalam konvensi internasional.Jika demikian, di mana kekhasan dari HIP?Cara memahami atau menafsirkan keberadaan peraturan-peraturan tersebut adalah jiwa dari HIP.Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya, semua peraturan di atas, dalam konteks HIP, diundangkan bukan untuk saling mengoposisi pihak lainnya dalam hubungan kerja. Pihak lain dalam perjanjian kerja harus dipandang sebagai mitra (counterpart) dan bukannya lawan. Sebagai contoh: pengakuan terhadap hak untuk berserikat dari buruh dalam konteks HIP bukanlah dipandang sebagai penciptaan kekuatan bagi buruh untuk menghadapi kekuatan sosial ekonomis dari majikan atau pengusaha, melainkan harus dipandang sebagai wujud dari kebersamaan dari pekerja. Mereka akan dapat secara bergotong royong dengan majikannya menciptakan aturan-aturan yang adil di dalam perjanjian kerja mereka, yang dilakukan melalui forum perundingan Perjanjian Kerja Bersama. Contoh lain, UMR bukanlah dipandang sebagai jaminan agar hak atas upah dari buruh tidak dilanggar oleh majikannya; melainkan dipandang sebagai batas kompensasi yang masih dianggap adil sebagai imbalan dari pekerjaan yang diberikannya kepada majikannya. Dengan memperhatikan jabaran tersebut jelaslah bahwa seharusnya pelaksanaan HIP akan membawa suasana yang ideal dan tenteram di dalam hubungan industrial di Indonesia. Fakta ternyata tidak menunjukkan demikian.
HIP masih belum berfungsi semestinya
Banyak masalah perburuhan dewasa ini menunjukkan bahwa HIP masih kondisi mati. Apakah penyebab yang menggagalkan terbangunnya HIP?Alasan pertama adalah sikap mental dari para pihak di dalam hubungan industrial. Buruh dan majikan masih menempatkan diri dalam posisi yang berseberangan, dan tidak merasa memiliki kepentingan yang sama. Buruh banyak yang merasa majikannya selalu mengeksploitasi mereka; sementara majikan merasa bahwa buruh banyak yang tidak melaksanakan tugas mereka secara baik.Sementara itu, pemerintah yang harusnya menjadi penengah dari buruh dan majikan sering kali dianggap berpihak kepada majikan.Cara pandang seperti ini benar-benar menempatkan gap yang luas di antara pihak-pihak di dalam hubungan industrial.Buruknya penegakan hukum merupakan alasan kedua.Aparat pemerintah dalam hal ini dari Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Ketenagakerjaan dan aparat-aparat terkait lainnya masih banyak yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik.Sebagai bukti yang paling nyata terhadap ini adalah gagalnya pegawai pengawas untuk melakukan kontrol terhadap penerapan perundang-undangan. Pelanggaran terhadap kewajiban mengikutsertakan pekerja pada Jamsostek, pelanggaran terhadap jam kerja maksimum (40 jam per minggu), pelanggaran terhadap UMR dan pelanggaran-pelanggaran lain masih banyak terjadi karena tidak adanya pengawasan tersebut. Peraturan yang substansinya kurang baik juga masih menjadi salah satu alasan lain yang menunjukkan tertidurnya HIP. Peraturan yang saat ini paling banyak dianggap salah oleh pihak pekerja adalah tentang outsourcing di dalam hukum Indonesia.  Peraturan ini dianggap buruk karena perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing masih sangat tidak memadai.Sementara itu, peraturan tentang pemberian pesangon terhadap pekerja yang pada akhirnya diPHK karena beberapa kali melakukan pelanggaran terhadap peraturan di perusahaan juga dianggap oleh majikan sebagai peraturan yang tidak terlalu menguntungkan posisi mereka.  Budaya hukum masyarakat yang masih cenderung menggunakan kekuatan untuk menyelesaikan masalah juga merupakan salah satu alasan kuat lainnya yang menunjukkan HIP belum mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat. Masih banyak alasan-alasan lain yang pasti akan dapat kita temukan sebagai petunjuk gagal berfungsinya HIP.
Upaya membangunkan HIP
Contoh-contoh di atas menggambarkan HIP masih belum hidup, HIP masih belum mampu memberi warna dan sentuhan bagi hubungan industrial di Indonesia. Untuk mencari solusi, kita harus memperhatikan peta masalah yang telah digambarkan di atas. Pengubahan sikap mental dan budaya hukum yang masih cenderung menganggap buruh dan majikan adalah pihak-pihak yang berseberangan, tidak akan dapat diselesaikan tanpa adanya pendidikan dan penyadaran bahwa kepada masyarakat bahwa ‘penerapan ‘sistem kemitraan’ bagi buruh dan majikannya akan lebih menguntungkan semua pihak. Bila buruh dan majikan menjadi mitra yang bergotong royong mencari keuntungan bagi perusahaan, dan bila hasil dari keuntungan itu selain dinikmati perusahaan juga dikembalikan kepada buruh untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, maka buruh dan majikan akan memiliki kekuatan ekstra untuk mencapai keuntungan perusahaan yang maksimal. Buruknya penegakan hukum harus diselesaikan dengan menggunakan berbagai upaya.Penegakan disiplin dari aparat yang berkaitan dengan ketenagakerjaan (misalnya pegawai pengawas) merupakan salah satu hal krusial.Bukanlah rahasia umum bahwa kinerja aparat tersebut saat ini sangatlah buruk.Banyak pengusaha yang menyatakan bahwa mereka hampir secara rutin dikunjungi oleh aparat pajak dan aparat ketenagakerjaan, dan mereka harus ‘memberi uang saku’ bila tidak mau masalah di tempat mereka diusik.Sikap koruptif dari pegawai pengawas ketenagakerjaan yang bersedia untuk menerima suap demi mendiamkan masalah di suatu tempat kerja, merupakan salah satu hal terpenting yang menyebabkan gagalnya penegakan hukum ketenagakerjaan di Indonesia.Perlu dilakukan penjatuhan sanksi hukum bagi pegawai pengawas yang terbukti melanggar hukum.Pihak yang berkonspirasi dengan mereka untuk membiarkan terjadinya pelanggaran hukum juga harus terkena sanksi hukum. Bila seorang pengusaha tidak mengikutsertakan buruhnya dalam program Jamsostek; dan dapat dibuktikan bahwa pegawai pengawas sebenarnya mengetahui hal tersebut tetapi membiarkan pelanggaran itu karena mereka telah memperoleh sogokan dari pengusaha tersebut, maka baik pengusaha maupun pegawai pengawas tersebut sama-sama harus dikenai sanksi hukum. Evaluasi terhadap perUndang-Undangan juga merupakan hal yang sangat penting. Hanya peraturan yang isinya tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur dari Pancasila, UUD 1945 atau peraturan lain yang lebih tinggi; dan bila isi peraturan tersebut tidak sesuai rasa keadilan, kesejahteraraan dan ketentraman masyarakat lah yang harus diganti. Peraturan yang sudah sesuai tetap harus dipertahankan.Mengubah peraturan terlalu sering juga tidak terlalu menguntungkan, mengingat hal itu justru juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Gambar 1.1 Bagan Alur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menurut UU No.2/2004


Kesimpulan
Menggugah nilai-nilai luhur itu merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki sistem hubungan industrial di Indonesia. Dalam jangka pendek, perubahan memang sulit ditemukan. Namun dalam jangka panjang, bila isi peraturan, cara penegakan aturan dan budaya hukum masyarakat telah sesuai dengan Pancasila, maka hubungan industrial di Indonesia akan menjadi lebih serasi dan ideal. Mari terus berusaha membangunkan kembali Hubungan Industrial Pancasila dan sungguh-sungguh menerapkannya di dalam praktek ketenagakerjaan di Indonesia.

Sumber :
http://xa.yimg.com/kq/groups/22571639/1785061765/name/Modul
http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/10/16/kompetensi-absolut-phi-bagian-i/
Tua Efendi Hriandja, Marihot. (2007). Manajemen Sumber Daya Manusia (Pengadaan, Pengembangan, Pengkompensasian, dan Peningkatan Produktivitas Pegawai).Jakarta : PT Grasindo