Menghidupkan Hubungan Industrial Pancasila yang Belum Sadar
Indonesia telah memiliki sejarah panjang
hubungan industrial. Walau demikian, hingga saat ini begitu banyak permasalahan
di bidang hubungan industrial itu yang masih terjadi dan menimbulkan perpecahan
antara pekerja di satu pihak dan pengusaha di pihak lain. Tanpa adanya
perbaikan pola hubungan industrial antara kedua pihak tersebut, tidak pernah
terjadi kesamaan persepsi di dalam menyikapi masalah yang terjadi di antara
mereka.Oleh karena itu, para pihak di dalam hubungan industrial harus melakukan
upaya-upaya strategis untuk memperbaiki nasib dan pola hubungan mereka.
Upaya-upaya perbaikan tersebut sebagian
besar berkaitan dengan pengusulan kebijakan baru yang berkaitan dengan
peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja. Tindakan membangun aliansi
baru untuk memperluas kekuatan dan kemampuan mereka dalam melindungi
kelompoknya; melakukan tindakan-tindakan kolektif seperti melakukan pemogokan
atau demonstrasi yang bertujuan untuk memperbaiki syarat hubungan kerja di
tempat mereka bekerja; dan berbagai upaya lain yang tidak dapat dirumuskan satu
demi satu telah dilakukan oleh keduabelah pihak. Namun demikian, tidak terjadi
perbaikan yang signifikan terhadap kondisi hubungan industrial di Indonesia.
Banyak orang yang concern pada masalah
ketenagakerjaan di Indonesia akan memikirkan kembali tentang hal apa yang dapat
dilakukan untuk memperbaiki pola hubungan industrial di Indonesia. Kali ini
saya berpikir tentang ‘nilai-nilai apa yang sebenarnya merupakan kekayaan kita
dan dapat kita gali kembali, untuk menumbuhkan hubungan industrial yang ideal
di antara para buruh dan majikannya’.Dari hasil kontemplasi saya, saya
menemukan nilai-nilai luhur dalam Hubungan Industrial Pancasila sebagai
jawabannya (selanjutnya disebut sebagai HIP).
Mengapa HIP? HIP sudah lama dilupakan.
Dalam praktek bahkan konsep ini mungkin sudah lama ditinggalkan.Apakah HIP itu?
Konsep ini mengatur hubungan antara para pelaku dalam proses produksi (buruh
dan majikannya) yang berlandaskan pada sila-sila dari Pancasila, dasar negara
Indonesia. HIP ini sangatlah unik. Hubungan industrial dalam masyarakat
sosialis atau liberal cenderung melihat para pihak di dalam hubungan industrial
(majikan dan buruh) sebagai pihak yang berhadapan (oposisi). Pihak majikan akan
mempekerjakan pekerjanya untuk memperoleh keuntungan perusahaan yang
sebesar-besarnya. Untuk menghadapi hal tersebut, pihak pekerja kemudian akan
menghimpun kekuatan guna menandingi kekuatan sosial ekonomis majikan dengan
menggunakan kekuatan kolektif, misalnya melakukan pemogokan. Inilah yang
dimaksud dengan upaya pengimbangan. HIP memiliki pendekatan yang berbeda. Pada
saat ditemukannya, nilai-nilai Pancasila ditumbuhkan oleh masyarakat adat
Indonesia yang bersifat komunal.Dalam sistem tersebut, sifat kebersamaan dan
gotong royong merupakan sendi penting di dalam hubungan industrial
tersebut.Dengan demikian, majikan dan buruh bukanlah pihak yang berseberangan,
melainkan pihak yang berdampingan dalam upaya mencapai hal yang paling
menguntungkan dalam hubungan kerja mereka. Mereka memiliki satu tujuan yang
sama (common goal),
yaitu mencapai keuntungan. Bagaimana hal ini dapat dicapai, akan dijawab
melalui penjabaran hakikat dari HIP di bawah ini.
Mencari jejak Pancasila dalam hubungan industrial di Indonesia
Di bawah ini akan dilakukan apakah semua
nilai Pancasila telah diakomodir di dalam peraturan-peraturan yang berkaitan
dengan hubungan industrial. Sila
Ketuhanan yang maha esa telah dikonkritkan ke dalam beberapa
aturan, yang sifatnya sangatlah khas Indonesia.Peraturan tentang pelarangan
melakukan diskriminasi berdasarkan alasan agama, pemberian Tunjangan Hari Raya
pada saat buruh merayakan hari besar keagamaan dan hak untuk mendapatkan cuti
untuk menjalankan ibadah keagamaan merupakan contoh-contoh dari diterapkannya
sila pertama ini di dalam hubungan industrial di Indonesia.
Sila
kemanusiaan yang adil dan beradab juga telah menampakkan
jejaknya di dalam berbagai peraturan di Indonesia.Sila ini diturunkan ke dalam
beberapa asas, antara lain: asas
adil dan merata meski masih tidak dapat dikatakan telah
sukses dilaksanakan, namun paling tidak penerapannya misalnya dalam menentukan
upah minimum masihlah terlihat. Asas peri kehidupan dalam keseimbangan
juga merupakan asas yang harus diterapkan misalnya dalam penciptaan hubungan
kemitraan antara buruh dan majikan sebagaimana diatur di dalam pasal 103 ayat 3
UU Ketenagakerjaan adalah perwujudan dari asas ini.
Sila
persatuan Indonesia juga terlihat dalam pengelolaan pasar
kerja di Indonesia, yang informasi lowongan kerja dan pencari kerjanya dikelola
secara nasional.Hal ini menggambarkan upaya untuk mempertemukan tenaga kerja
yang berasal dari daerah padat angkatan kerja tetapi rendah kesempatan kerjanya
dengan lowongan pekerjaan yang sesuai dengan ketrampilan atau minat dari tenaga
kerja tersebut, walau lowongan pekerjaan tersebut terletak di daerah yang
berbeda dengan tempat tenaga kerja tersebut berasal.
Sila
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan mengandung nilai yang paling banyak
diterapkan di dalam aktivitas berorganisasi dari para buruh. Dalam hal
terjadinya perselisihan hubungan industrial, prinsip penyelesaiannya adalah
melalui proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Mengingat anggota dari
serikat buruh jumlahnya banyak, dalam proses perundingan, para anggota serikat
pekerja akan diwakili oleh orang-orang yang ditunjuk oleh Serikat Buruh
(biasanya pengurus Serikat Buruh).
Sila
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan
sila yang paling erat berkaitan dengan masalah hubungan industrial.Hal
terpenting yang merupakan perlindungan wajib bagi buruh seperti hak untuk
memperoleh jaminan sosial, hak untuk memperoleh upah yang tidak lebih rendah
daripada UMR, hak untuk tidak dieksploitasi baik atas dasar jam kerja maksimal
dan jam istirahat minimal dimandatkan oleh sila ini.
Masih banyak hal-hal yang telah
dilaksanakan di dalam praktek hubungan industrial di Indonesia yang ternyata
dapat dikaitkan dengan atau merupakan turunan dari lima sila Pancasila. Jika
diperhatikan dengan teliti, isi dari hal-hal yang diturunkan dari sila-sila
Pancasila sebagaimana dicontohkan di atas ternyata tidak terlalu berbeda dengan
isi Hukum Perburuhan yang ditemukan di dalam hukum positif dari berbagai negara
atau yang ditemukan di dalam konvensi internasional.Jika demikian, di mana
kekhasan dari HIP?Cara memahami atau menafsirkan keberadaan peraturan-peraturan
tersebut adalah jiwa dari HIP.Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya, semua
peraturan di atas, dalam konteks HIP, diundangkan bukan untuk saling
mengoposisi pihak lainnya dalam hubungan kerja. Pihak lain dalam perjanjian
kerja harus dipandang sebagai mitra (counterpart)
dan bukannya lawan. Sebagai contoh: pengakuan terhadap hak untuk berserikat dari buruh dalam
konteks HIP bukanlah dipandang sebagai penciptaan kekuatan bagi buruh untuk
menghadapi kekuatan sosial ekonomis dari majikan atau pengusaha, melainkan
harus dipandang sebagai wujud dari kebersamaan dari pekerja. Mereka akan dapat
secara bergotong royong dengan majikannya menciptakan aturan-aturan yang adil
di dalam perjanjian kerja mereka, yang dilakukan melalui forum perundingan
Perjanjian Kerja Bersama. Contoh lain, UMR bukanlah dipandang sebagai jaminan
agar hak atas upah dari buruh tidak dilanggar oleh majikannya; melainkan dipandang
sebagai batas kompensasi yang masih dianggap adil sebagai imbalan dari
pekerjaan yang diberikannya kepada majikannya. Dengan memperhatikan jabaran
tersebut jelaslah bahwa seharusnya pelaksanaan HIP akan membawa suasana yang
ideal dan tenteram di dalam hubungan industrial di Indonesia. Fakta ternyata
tidak menunjukkan demikian.
HIP masih belum
berfungsi semestinya
Banyak masalah perburuhan dewasa ini
menunjukkan bahwa HIP masih kondisi mati.
Apakah penyebab yang menggagalkan terbangunnya HIP?Alasan pertama adalah sikap mental dari para pihak di dalam hubungan
industrial. Buruh dan majikan masih menempatkan diri dalam posisi yang
berseberangan, dan tidak merasa memiliki kepentingan yang sama. Buruh banyak
yang merasa majikannya selalu mengeksploitasi mereka; sementara majikan merasa
bahwa buruh banyak yang tidak melaksanakan tugas mereka secara baik.Sementara
itu, pemerintah yang harusnya menjadi penengah dari buruh dan majikan sering
kali dianggap berpihak kepada majikan.Cara pandang seperti ini benar-benar
menempatkan gap yang luas di antara pihak-pihak di dalam hubungan industrial.Buruknya penegakan hukum
merupakan alasan kedua.Aparat pemerintah dalam hal ini dari Kementrian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, Dinas Ketenagakerjaan dan aparat-aparat terkait lainnya
masih banyak yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik.Sebagai bukti yang
paling nyata terhadap ini adalah gagalnya pegawai pengawas untuk melakukan
kontrol terhadap penerapan perundang-undangan. Pelanggaran terhadap kewajiban
mengikutsertakan pekerja pada Jamsostek, pelanggaran terhadap jam kerja
maksimum (40 jam per minggu), pelanggaran terhadap UMR dan
pelanggaran-pelanggaran lain masih banyak terjadi karena tidak adanya
pengawasan tersebut. Peraturan
yang substansinya kurang baik juga masih menjadi salah
satu alasan lain yang menunjukkan tertidurnya HIP. Peraturan yang saat ini
paling banyak dianggap salah oleh pihak pekerja adalah tentang outsourcing di dalam hukum
Indonesia. Peraturan ini dianggap buruk karena perlindungan hukum
terhadap pekerja outsourcing masih
sangat tidak memadai.Sementara itu, peraturan tentang pemberian pesangon
terhadap pekerja yang pada akhirnya diPHK karena beberapa kali melakukan
pelanggaran terhadap peraturan di perusahaan juga dianggap oleh majikan sebagai
peraturan yang tidak terlalu menguntungkan posisi mereka. Budaya hukum masyarakat yang masih cenderung menggunakan kekuatan
untuk menyelesaikan masalah juga merupakan salah satu alasan kuat lainnya yang
menunjukkan HIP belum mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat. Masih banyak
alasan-alasan lain yang pasti akan dapat kita temukan sebagai petunjuk gagal
berfungsinya HIP.
Upaya membangunkan HIP
Contoh-contoh di atas menggambarkan HIP
masih belum hidup,
HIP masih belum mampu memberi warna dan sentuhan bagi hubungan industrial di
Indonesia. Untuk
mencari solusi, kita harus memperhatikan peta masalah yang telah digambarkan di
atas. Pengubahan sikap mental dan budaya hukum yang masih cenderung menganggap
buruh dan majikan adalah pihak-pihak yang berseberangan, tidak akan dapat
diselesaikan tanpa adanya pendidikan
dan penyadaran bahwa kepada masyarakat bahwa ‘penerapan
‘sistem kemitraan’ bagi buruh dan majikannya akan lebih menguntungkan semua
pihak. Bila buruh dan majikan menjadi mitra yang bergotong royong mencari
keuntungan bagi perusahaan, dan bila hasil dari keuntungan itu selain dinikmati
perusahaan juga dikembalikan kepada buruh untuk meningkatkan kesejahteraan
mereka, maka buruh dan majikan akan memiliki kekuatan ekstra untuk mencapai
keuntungan perusahaan yang maksimal. Buruknya penegakan hukum harus
diselesaikan dengan menggunakan berbagai upaya.Penegakan disiplin
dari aparat yang berkaitan dengan ketenagakerjaan (misalnya pegawai pengawas)
merupakan salah satu hal krusial.Bukanlah rahasia umum bahwa kinerja aparat
tersebut saat ini sangatlah buruk.Banyak pengusaha yang menyatakan bahwa mereka
hampir secara rutin dikunjungi oleh aparat pajak dan aparat ketenagakerjaan,
dan mereka harus ‘memberi uang saku’ bila tidak mau masalah di tempat mereka
diusik.Sikap koruptif dari pegawai pengawas ketenagakerjaan yang bersedia untuk
menerima suap demi mendiamkan masalah di suatu tempat kerja, merupakan salah
satu hal terpenting yang menyebabkan gagalnya penegakan hukum ketenagakerjaan
di Indonesia.Perlu dilakukan penjatuhan sanksi hukum bagi pegawai pengawas yang
terbukti melanggar hukum.Pihak yang berkonspirasi dengan mereka untuk
membiarkan terjadinya pelanggaran hukum juga harus terkena sanksi hukum. Bila
seorang pengusaha tidak mengikutsertakan buruhnya dalam program Jamsostek; dan
dapat dibuktikan bahwa pegawai pengawas sebenarnya mengetahui hal tersebut
tetapi membiarkan pelanggaran itu karena mereka telah memperoleh sogokan dari
pengusaha tersebut, maka baik pengusaha maupun pegawai pengawas tersebut
sama-sama harus dikenai sanksi hukum. Evaluasi terhadap perUndang-Undangan
juga merupakan hal yang sangat penting. Hanya peraturan yang isinya tidak
sesuai dengan nilai-nilai luhur dari Pancasila, UUD 1945 atau peraturan lain
yang lebih tinggi; dan bila isi peraturan tersebut tidak sesuai rasa keadilan,
kesejahteraraan dan ketentraman masyarakat lah yang harus diganti. Peraturan
yang sudah sesuai tetap harus dipertahankan.Mengubah peraturan terlalu sering
juga tidak terlalu menguntungkan, mengingat hal itu justru juga dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum.
Kesimpulan
Menggugah
nilai-nilai luhur itu merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki
sistem hubungan industrial di Indonesia. Dalam jangka pendek, perubahan memang sulit ditemukan. Namun
dalam jangka panjang, bila isi peraturan, cara penegakan aturan dan budaya
hukum masyarakat telah sesuai dengan Pancasila, maka hubungan industrial di
Indonesia akan menjadi lebih serasi dan ideal. Mari terus berusaha membangunkan
kembali Hubungan Industrial Pancasila dan sungguh-sungguh menerapkannya di
dalam praktek ketenagakerjaan di Indonesia.
Sumber :
http://xa.yimg.com/kq/groups/22571639/1785061765/name/Modulhttp://gagasanhukum.wordpress.com/2008/10/16/kompetensi-absolut-phi-bagian-i/
Tua Efendi Hriandja, Marihot. (2007). Manajemen Sumber Daya Manusia (Pengadaan, Pengembangan, Pengkompensasian, dan Peningkatan Produktivitas Pegawai).Jakarta : PT Grasindo