Penjelasan
UU No 2/2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial
UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2004
TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
I. LATAR BELAKANG
Dalam era industrialisasi,
perselisihan hubungan industrial menjadi semakin kompleks, untuk
penyelesaiannya diperlukan institusi yang mendukung mekanisme penyelesaian
perselisihan yang cepat, tepat, adil dan murah.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957
tenteng Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun
1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Hubungan Kerjan di
Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan
kebutuhan tersebut diatas.
Hal ini disebabkan beberapa hal:
Pertama : sejak diberlakukannya
Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,maka
Putusan P4P yang semula bersifat final,oleh pihak yang tidak menerima putusan
tersebut dapat diajukan gugutan pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara,yang
selanjutnya dapat dimohonkan Kasasi pada Mahkamah Agung. Proses ini membutuhkan
waktu relatif lama yang tidak sesuai untuk diterapkan dalam kasus
ketenagakerjaan (hubungan industrial) yang memerlukan penyelesaian yang
cepat,karena berkaitan dengan proses produksi dan hubungan kerja.
P4D/P4P selama ini dikenal sebagai
quasi-peradilan atau peradilan semu. “Peradilan”karena institusi ini mempunyai
kewenangan “memutus” perkara-perkara dalam hubungan industrial,namun “semu”
karena institusi ini bukan lembaga peradilan yang dimaksudkan dalam
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentangPokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam
kelembagaan P4D/P4P ini duduk wakil-wakil dari Pemerintah,berdasarkan hal itu
maka putusannya kemudian dikatagorikan menjadi putusan pejabat tata usaha
negara,yang dapat menjadi objek pengadilan TUN.
Kedua : adanya kewenangan Menteri
untuk menunda atau membatalkan putusan P4P atau biasa disebut hak Veto. Hak
Veto ini dianggap merukan campur tangan Pemerintah,dan tidak sesuai lagi dengan
paradigma yang berkembang dalam masyarakat,dimana peran pemerintah seharusnya
sudah harus dikurangi.
Ketiga : dalam Undang-undang Nomor
22 Tahun 1957 yang dapat menjadi pihak dalam penyelesaian perselisihan hubungan
industrial hanyalah serikat pekerja/serikat buruh. Dengan berlakunya
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat buruh yang
dijiwai oleh Konvensi ILO No.87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan
Hak Berorganisasi,yang telah diratifikasioleh Indonesia,maka terbuka kesempatan
untuk setiap pekerja/buruh membentuk/mengikuti organisasi yang disukainya.
Namun di pihak lain hak pekerja/buruh untuk tidak berorganisasi juga harus
dihargai.
Oleh karena itu Undang-undang Nomor
22 Tahun 1957 yang mensyaratkan pihak yang berperkara harus serikat
pekerja/serikat buruh,menjadi tidak sesuai dengan paradigma baru di bidang
hubungan industrial yaitu demokratisasi di tempat kerja.
Apabila Undang-undang Nomor 22 Tahun
1957 tetap dipertahankan maka pekerja/buruh perseorangan hanya dapat
ber”perkara”di hadapan pengadilan umum dengan beracara secara perdata.
II. PRINSIP-PRINSIP YANG DIATUR
DALAM UNDANG-UNDANG NO.2 TAHUN 2004
1. Pengertian Perselisihan Hubungan
Industrial.
Perselisihan hubungan industrial
adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau
gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
karena adanya perselisihan mengenai hak,perselisihan kepentingan dan
perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat
pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan.
2. Bentuk-bentuk Perselisihan
Hubungan Industrial.
Berdasarkan pengertian perselisihan
tersebut diatas,maka dikenal 4 bentuk perselisihan yaitu:
a. Perselisihan hak, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak,dipenuhinya
hak,akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan,perjanjian kerja,peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja,peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
b. Perselisihan kepentingan,yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan atau perubahan
syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja,yaitu perselisihan yang timbul karena
tidak adanya kesesuain pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang
dilakukan oleh salah satu pihak.
d. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh,yaitu perselisihan antara
serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain dalam
satu perusahaan,karena tidak adanya persesuain paham mengenai
keanggotaan,pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat-pekerjaan.
3. Penyelesaian Perselisihan di Luar
Pengadilan Hubungan Industrial
Dalam UU ini penyelesaian
perselisihan dapat dilakukan di luar pengadilan ( Pengadilan Hubungan
Industrial). Mekanisme ini tentunya lebih cepat dan dapat memenuhi rasa keadilan
para pihak karena penyelesaiannya berdasarkan musyawarah untuk mencapai
mufakat.
Terdapat 4(empat) bentuk
penyelesaian yaitu melalui :
a. Bipartit;
b. Mediasi;
c. Konsiliasi;
d. Arbitrase.
a. Penyelesaian melalui Bipartit
Penyelesaian secara bipartit wajib
diupayakan terlebih dahulu sebelum para pihak memilh alternatif penyelesaian
yang lain.Hal ini berarti bahwa sebelum pihak atau pihak-pihak yang berselisih
mengundang pihak ketiga untuk menyelesaikan persoalan diantara mereka,maka
harus terlebih dahulu melalui tahapan perundingan para pihak yang biasa disebut
sebagai bipartit.Penyelesaian melalui bipartit nin harus diselesaikan paling
lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan . Apabila dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh)hari,salah satu pihak menolak untuk merunding atau telah
dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan maka perundingan
bipartit dianggap gagal.
Apabila dalam perundingan bipartit
berhasil mencapai kesepakatan maka dibuat Perjanjian Bersama(PB) yang mengikat
dan menjuadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.Dalam hal
Perjanjian Bersama(PB)tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak,maka pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi pada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama(PB) didaftar
untuk mendapat penetapan eksekusi.
Dalam hal perundingan bipartit tidak
mencapai kesepakatan,maka salah satu atau kedua belah pihak memberitahukan
perselisihannya kepada instansinyang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempat.
b. Penyelesaian melalui Mediasi
Wajib
Mediator,adalah pegawai instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi
syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas
melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada
para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak,perselisihan
pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam
satu perusahaan.
Penyelesaian melalui mediasi wajib
diperuntukan bagi.
perselisihan hak;
perselisihan kepentingan;
perselisihan pemutusan hubungan
kerja;dan
perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Dalam waktu selambat-lambatnya
7(tujuh) hari kerja setelah menerima permintaan tertulis,mediator harus sudah
mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang
mediasi.
Dalam hal tercapai
kesepakatanpenyelesaian melalui mediasi,maka dibuat Perjanjian Bersama (PB)
yang ditandatangani para pihak dan diketahui oleh mediator dan didaftar di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak
mengadakan Perjanjian Bersama.
Dalam hal mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka mediator mengeluarkan
anjuran tertulis selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang
mediasi pertama kepada para pihak. Para pihak harus memberikan pendapatnya
secara tertulis kepada mediator selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja
sejak menerima anjuran.
Pihak yang tidak memberikan
pendapatnya dianggap menolak anjuran tertulis.
Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis dari mediator, dalam waktu
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui,
mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama
(PB) untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama (PB).
Apabila anjuran tertulis ditolak
oleh salah satu pihak atau oleh kedua belah pihak, maka penyelesaian perselisihan
dilakukan melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
setempat dengan mengajukan gugatan oleh salah satu pihak.
Mediator harus menyelesaikan tugasnya paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak tanggal permintaan penyelesaian perselisihan.
c. Penyelesaian melalui Konsiliasi.
Konsiliator, adalah seorang atau
lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator dan ditunjuk oleh
Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran
tertulis kepada pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Penyelesaian melalui konsiliasi
diperuntukan bagi :
- perselisihan kepentingan;
- perselisihan pemutusan hubungan kerja;
- perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Penyelesaian oleh konsilator
dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara
tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati para pihak. Dalam
waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja, konsiliator harus sudah
mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari
kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama.
Dalam hal tercapai kesepakatan
penyelesaian melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama (PB) yang
ditandatangani para pihak dan diketahui oleh konsiliator serta didaftar di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak
mengadakan Perjanjian Bersama (PB).
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan
penyelesaian melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis
dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi
pertama kepada para pihak.
Para pihak harus sudah memberikan
pendapatnya secara tertulis kepada konsiliator dalam waktu selambat-lambatnya
10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis.
Dalam hal para pihak menyetujui
anjuran tertulis, dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak
anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak
membuat Perjanjian Bersama (PB) dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri diwilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian
Bersama (PB).
Dalam hal anjuran tertulis ditolak
oleh salah satu pihak atau para pihak, maka penyelesaian perselisihan dilakukan
melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat dengan
pengajuan gugatan oleh salah satu pihak.
Konsiliator menyelesaikan tugasnya
dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak menerima
permintaan penyelesaian perselisihan.
Konsiliator harus terdaftar pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan telah memenuhi
syarat-syarat yang telah ditetapkan serta harus ada legitimasi oleh Menteri
atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
Dalam melaksanakan tugasnya
konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa yang dibebankan kepada
negara.
d. Penyelesaian melalui Arbiter
Arbiter, adalah seorang atau lebih
yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang
ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan
kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya
mengikat para pihak dan bersifat final.
Ruang Lingkup
Perselisihan yang dapat diselesaikan
melalui arbitrase adalah perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Perjanjian Arbitrase.
Penyelesaian melalui arbiter harus
berdasarkan kesepakatan para pihak yang berselisih yang dituangkan dalam
Perjanjian Arbitrase. Perjanjian tersebut memuat antara lain pokok-pokok
perselisihan yang diserahkan pada arbiter, jumlah arbiter dan pernyataan para
pihak untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbiter.
Pihak-pihak dapat menunjuk arbiter
tunggal atau beberapa arbiter dalam jumlah gasal sebanyak-banyaknya 3 (tiga)
orang. Arbiter yang ditunjuk haruslah arbiter yang telah ditetapkan oleh
Menteri dan wilayah kerjanya meliputi seluruh negara Republik Indonesia.
Penunjukan Arbiter.
Penunjukan Arbiter tunggal
berdasarkan kesepakatan para pihak secara tertulis. Apabila para pihak sepakat
untuk menunjuk beberapa arbiter secara tertulis dalam jumlah gasal,
masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter dalam waktu
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, sedangkan arbiter ketiga ditentukan oleh
para arbiter yang ditunjuk dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
untuk diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase.
Dalam hal para pihak tidak sepakat
untuk menunjuk arbiter baik tunggal maupun gasal, maka atas permohonan salah
satu pihak, Ketua Pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang
ditetapkan Menteri.
Perjanjian Penunjukan Arbiter.
Sebelum melaksanakan tugasnya,
arbiter yang telah ditunjuk harus terlebih dahulu membuat Perjanjian Penunjukan
Arbiter dengan para pihak. Dalam perjanjian tersebut secara tegas dinyatakan
pokok-pokok yang menjadi perselisihan yang diserahkan kepada arbiter untuk
diselesaikan dan diambil keputusan dan pernyataan para pihak untuk tunduk dan
menjalankan keputusan arbitrase.
Pemeriksaan Perkara dalam Arbitase.
Pemeriksaan oleh arbiter atau
majelis arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih
menghendaki lain. Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat
diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus. Apabila pada hari sidang para
pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir,
walaupun telah dipanggil secara patut, maka arbiter atau majelis arbiter dapat
membatalkan Perjanjian Penunjukan Arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter
dianggap selesai.
Apabila pada hari sidang pertama dan
sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan
yang sah tidak hadir walaupun untuk itu telah dipanggil secara patut, arbiter
atau majelis arbiter dapat memeriksa perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa
kehadiran salah satu pihak atau kuasanya.
Tuntutan Ingkar Arbiter
Arbiter yang telah ditunjuk oleh
para pihak berdasarkan perjanjian arbitrase dapat diajukan tuntutan ingkar
kepada Pengadilan Negeri apabila :
cukup alasan dan cukup bukti otentik
yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara
bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan;
terbukti adanya hubungan kekeluargaan
atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya.
Putusan Pengadilan Negeri tentang
tuntutan ingkar tidak dapat diajukan perlawanan.
Lamanya Penyelesaian Arbitrase.
Arbiter atau majelis arbiter wajib
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak penandatanganan surat Perjanjian Penunjukan Arbiter dan
dapat diperpanjang selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja atas
kesepakatan para pihak.
Dalam hal para pihak gagal mencapai
perdamaian, arbiter atau majelis arbiter akan melanjutkan sidang. Para pihak
diberi kesempatan untuk menjelaskan pendirian dan pendapatnya baik secara
tertulis maupun lisan disertai bukti-bukti. Untuk mendapatkan bahan-bahan yang
diperlukan dalam rangka pemeriksaan perkara, arbiter atau majelis arbiter
berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tuntutan secara
tertulis, atau menyerahkan bukti lainnya.
Putusan Arbiter.
Putusan arbiter diambil berdasarkan
hukum,keadilan,kebebasan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
putusan arbiter tersebut bersifat final dan mengikat para pihak.
Dalam hal putusan arbitrase tidak
dilaksanakan,maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan.
Permohonan Pembatalan pada Mahkamah
Agung atas Putusan Arbitre.
Meskipun putusan arbiter bersifat
tetap dan final,tetapi apabila putusan arbiter diduga mengandung unsur-unsur
yang merugikan salah satu pihak,atas putusan tersebut dapat diajukan permohonan
pembatalan pada Mahkamah Agung.Tenggang waktu untuk mengajukan permohonan
pembatalan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal putusan
arbitrase.
Permohonan pembatalan dapat diajukan
apabila dipenuhinya salah satu unsur sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan
dijatuhkan diakui atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang
disembunyikan oleh pihak lawan;
c. putusan diambil berdasarkan tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
d. putusan melampui kekuasaan arbiter;
e. putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal permohonan
dikabulkan,Mahkamah Agung akan menetapkan akibat dari pembatalan baik
seluruhnya maupun seluruhnya maupun sebagian putusan arbitrase. Mahkamah Agung
harus sudah memutuskan permohonan pembatalan paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak tanggal menerima permohonan.
III. PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Pengertian
Pengadilan Hubungan Industrial
adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan Pengadilan negeri yang
berwenang memeriksa,mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan
hubungan industrial.
Untuk pertama kali dibentuk
Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Hubungan Industrial pada
setiap Pengadilan Negeri di setiap ibukota Propinsi yang daerah hukumnya
meliputi Propinsi yang bersangkutan.
Yurisdiksi Pengadilan Hubungan
Industrial.
Perkara yang dapat di tanganioleh
Pengadilan Hubungan Industrial adalah:
a. Pada tingkat pertama Pengadilan
Hubungan Industrial:
perselisihan hak;
perselisihan pemutusan hubungan kerja.
b. Pada tingkat pertama dan terakhir Pengadilan Hubungan Industrial:
perselisihan kepentingan :
perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh.
Susunan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial
Susunan Pangadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari:
a. Hakim;
b. Hakim Ad-Hoc:
c. Panitera Muda;dan
d. Panitera Pengganti
Susunan Pangadilan Hubungan
Industrial pada Mahkamah Agung terdiri dari:
a. Hakim Agung;
b. Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung; dan
c. Panitera.
Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim
Ad-Hoc
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri diangkat dan diberhentikan berdasarkan Keputusan Ketua
Mahkamah Agung.
Untuk pertama kalinya pengangkatan
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri paling
sedikit 5(lima)orang masing-masing dari unsur organisasi pengusaha dan
pekerja/buruh.
Hakim Ad-Hoc berasal dari organisasi
pengusaha dan organisasi pekerja/buruh.Sebelum diusulkan oleh Mahkamah Agung
kepada Presiden harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Menteri yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan . Meskipun berasal dari organisasi
pengusaha dan pekerja/buruh,sudah seharusnya seorang hakim bersikap tidak
memihak dalam memeriksa dan memutus perkara.
Syarat-syarat Hakim Ad-Hoc.
a. Warga Negara Indonesia;
b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945;
d. Berumur paling rendah 30 tahun;
e. Berbadan sehat sesuai keterangan dokter;
f. Berwibawa, jujur , adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. Berpendidikan serendah-rendahnya S1 (strata satu) kecuali bagi hakim Ad-Hoc
pada Mahkamah Agung syarat pendidikan Sarjana Hukum;
h. Berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 (lima) tahun.
Larangan merangkap jabatan bagi
Hakim Ad-Hoc.
Agar Hakim Ad-Hoc dapat bekerja
secara profesional, maka Hakim Ad-Hoc dilarang merangkap jabatan.
Larangan merangkap jabatan meliputi
:
a. anggota Lembaga Tinggi Negara;
b. kepala Daerah/Kepala Wilayah;
c. anggota lembaga legislatif tingkat daerah;
d. anggota TNI/POLRI;
e. pegawai Negeri Sipil;
f. pengurus partai politik;
g. pengacara;
h. mediator;
i. konsiliator;
j. arbiter; dan
k. pengurus SP/SB atau pengurus organisasi pengusaha.
Pemberhentian Hakim Ad-Hoc.
Hakim Ad-Hoc bukan hakim karir, dan
oleh karena itu masa jabatan dibatasi yaitu untuk jangka waktu 5 (lima) tahun
dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Disamping dibatasi
oleh masa jabatan, Hakim Ad-Hoc dapat diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya dengan alasan :
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani dan rohani terus menerus selama 12 (dua belas) bulan;
d. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan
Industrial dan berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada
Mahkamah Agung;
e. tidak cakap dalam menjalankan tugas;
f. atas permintaan organisasi pengusaha atau organisasi pekerja/buruh yang
mengusulkan;
g. telah selesai masa tugasnya.
Hakim Ad-Hoc dapat diberhentikan
tidak dengan hormat dari jabatan dengan alasan :
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. terus menerus selama 3 (tiga) bulan melalaikan kewajibannya tanpa alasan
yang sah;
c. melanggar sumpah dan janji.
Pengawasan Hakim Ad-Hoc.
Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua
Mahkamah Agung mengawasi pelaksanaan tugas Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda
dan Panitera Pengganti pada Pengadilan Hubungan Industrial maupun Mahkamah
Agung. Pengawasan tidak menghilangkan atau mengurangi kebebasan Hakim Ad-Hoc
didalam memeriksa dan memutus perkara. Pengawasan ditujukan agar Hakim Ad-Hoc
bekerja lebih profesional, jujur dan adil. Dalam melakukan pengawasan Ketua
Pengadilan Negeri dan Ketua Mahkamah Agung dapat memberikan teguran dan
petunjuk.
IV. Penyelesaian perselisihan
melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
Tidak ada upaya banding pada
Pengadilan Tinggi.
Berbeda dengan perkara perdata dan
perkara pidana, dalam perkara perselisihan hubungan industrial tidak ada upaya
banding. Hal ini dimaksudkan agar perkara perselisihan hubungan industrial akan
cepat memperoleh kekuatan hukum tetap atau final.
Upaya Kasasi pada Mahkamah Agung.
Tidak semua perkara perselisihan
hubungan industrial yang diputus pada pengadilan tingkat pertama dapat diajukan
kasasi pada Mahkamah Agung.
2 (dua) perkara yang dapat diajukan
kasasi pada Mahkamah Agung yaitu :
perselisihan hak dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sedangka 2 (dua) perkara perselisihan lainnya yaitu :
- perselisihan kepentingan; dan
- perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
apabila telah diputus pada
pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri, maka putusannya bersifat final dan tetap.
Hukum Acara.
Hukum acara yang berlaku pada
Pengadilan Hubungan Industrial adalah hukum Acara Perdata yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara hkusus
dalam undang-undang ini.
Sidang Majelis Hakim
Sidang majelis hakim terbuka untuk
umum,kecuali Majelis Hakim dengan pertimbangan tertentu menyatakan sidang
tertutup.
Majelis Hakim terdiri atas 1(satu)
Hakim Karier sebagai Ketua Majelis dan 2(dua) Hakim Ad-Hoc sebagai anggota
Majelis .
Dalam waktu paling lama 7(tujuh)
hari sejak penetapan Majelis Hakim oleh Ketua Pengadilan Negri ,Majelis Hakim
harus sudah menetapkan tanggal sidang.
Dalam hal pihak penggugat atau
kuasanya setelah dipanggil secara patut tidak datang untuk sidang pertama dan
kedua maka gugatannya. Apabila pihak tergugat atau kuasanya tidak hadir dalam
sidang pertama dan kedua,maka gugatan dapat diterima dan Majelis dapat memutus
perkara berdasarkan bukti yang ada.
Pemanggilan Saksi
Majelis Hakim dapat memanggil saksi
atau saksi ahli untuk hadir guna didengar keterangannya. Setiap orang yang
dipanggil sebagai saksi berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan
kesaksiannya dibawah sumpah.
Disamping berwenang untuk memanggil
saksi dan saksi ahli,Majelis Hakim guna penyelesaian perselisihan berwenang
pula untuk meminta keterangan dari siapapun tanpa syarat termasuk membukakan
buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
Pengambilan Putusan
Dalam mengambil putusan,Majelis
Hakim mempertimbangkan hukum,perjanjian yang ada,kebiasaan dan rasa keadilan.
Dalam memeriksa perkara perselisihan hubungan imdustrial Majelis Hakim tidak
hanya mempertimbangkan kebenaran formal tetapi harus pula mempertimbangkan
kebenaran material.
Majelis Hakim berkewajiban
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial paling lama 50 (lima puluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal sidang pertama.
Putusan Majelis Hakim dibacakan
dalam sidang terbuka. Putusan mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak
diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam tegang waktu 14(empat
belas) hari kerja.
Bagi pihak yang hadir pada sidang
ketentuan mengenai tenggang waktu 14(empat belas) hari kerja terhitung sejak
tanggal sidang,sedangkan bagi pihak yang tidak hadir dihitung sejak tanggal
menerima pemberitahuan putusan.
Permohonan kasasi harus sudah
disampaikan pada Mahkamah Agung paling lama 14(empat belas) hari kerja sejak
tanggal penerimaan permohonan kasasi.
Penyelesaian di tingkat Kasasi
Seperti halnya Majelis Hakim pada
pengadilan tingkat pertama,Majelis Hakim pada Kasasi terdiri 1(satu) orang
Hakim Agung dan 2(dua) orang Hakim Ad-Hoc.
Majelis Hakim harus sudah memutuskan
perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan kepentingan paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.
V. Sanksi Administrasi dan Ketentuan
Pidana.
Sanksi Administratif
Sanksi administratif berupa:
a. Hukuman Disiplin
b. Teguran Tertulis;
c. Pencabutan sementara sebagai Konsiliator dan Arbiter;
d. Pencabutan tetap sebagai Konsiliator dan Arbiter.
Hukuman Disiplin
Dapat dikenakan pada Mediator dan
Panitera Muda. Karena keduanya merupakan pegawai negeri sipil,maka sanksi
dikenakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Teguran Tertulis
Dapat dikenakan kepada Konsiliator
dan Arbiter dengan alasan:
a. Konsiliator tidak menyampaikan
anjura tertulis paling lama 14 (empat belas) hari kerja atau tidak membantu
para pihak membuat perjanjian kerja bersama paling lambat 3(tiga) hari kerja .
b. Arbiter tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam
waktu paling lama 30 (tiga) hari kerja dan dalam jangka waktu perpanjangan
yaitu paling lama 14 (empat belas) hari kerja atau tidak membuat berita acara
kegiatan pemeriksaan.
Pencabutan Sementara
Kepada Konsiliator dan Arbiter dapat
dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan sementara sebagai Konsiliator
dan Arbiter dalam hal telah dikenakan sanksi teguran tertulis sebanyak 3(tiga
)kali kepada yang bersangkutan . Sanksi pencabutan sementara paling lama
3(tiga) bulan.
Pencabutan Tetap
Kepada konsiliator dan Arbiter dapat
dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan sebagai Konsiliator dan Arbiter
dalam hal:
a. Konsiliator telah dikenakan sanksi pencabutan sementara sebanyak 3
(tiga),kali terbukti melakukan tindak pidana dan telah menyalahgunakan jabatan.
b. Arbiter paling sedikit telah 3(tiga) kali mengambil putusan arbitrase yang
melampui kekuasaannya dan atas putusan tersebut Mahkamah Agung telah
mengabulkan permohonan peninjauan kembali,telah terbukti melakukan tindak
pidana dan menyalahgunakan jabatannya atau Arbiter telah dikenakan sanksi
pencabutan sementara sebanyak 3(tiga) kali .
Ketentuan Pidana
Barang siapa yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1),Pasal 22 ayat (1),dan
ayat 3, Pasal 47 ayat (1) dan ayat(3),Pasal 90 ayat (2),Pasal 91 ayat (1)dan
ayat(3),dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling sedikit Rp
10.000.000,00(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
Tips Memililih Yurisdiksi Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)
Dalam rezim hubungan industrial, maka berlaku asas lex specialist derogat
lex generalis.
Kadang masih saja ada advokat yang berpegang bahwa setiap gugatan tunduk
dalam rezim HIR. Sehingga, dalam mengajukan gugatan, kompetensi relatif dari
pengadilan didasarkan pada domisili dari Tergugat. Artinya, pengadilan yang
berwenang adalah pengadilan yang berada pada yurisdiksi Tergugat.
Bicara tentang kompetensi relatif suatu
Pengadilan Hubungan
Industrial (
PHI) terkait gugatan perselisihan hubungan
industrial, ketentuan Pasal 81 Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (
”UU No. 2/2004”), telah
secara tegas menyatakan:
”Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat pekerja/buruh bekerja”.
Berdasarkan subtansi Pasal 81 tersebut, maka norma yang terkandung di
dalamnya bersifat limitatif dan khusus. Hal ini berarti bahwa yurisdiksi
PHI
yang berwenang memeriksa dan mengadili suatu gugatan perselisihan hubungan
industrial terbatas pada wilayah tempat dimana pekerja/buruh bekerja, bukan
berdasarkan pada wilayah dimana tergugat bertempat tinggal/ berdomisili.
Dengan demikian, ketentuan Pasal 81 UU No. 2/2004 secara hukum telah
meniadakan keberlakuan Pasal 118 ayat (1) HIR/ Hukum Acara Perdata karena Pasal
81 UU No. 2/2004 telah mengatur secara khusus mengenai kewenangan relatif PHI.
Kekhususan aturan ini juga dibenarkan
menurut ketentuan Pasal 57 UU No. 2/2004 yang menyatakan
”Hukum acara yang
berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang
berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur
secara khusus dalam undang-undang ini”.
Adapun wilayah/ tempat pekerja/buruh bekerja sebagaimana dimaksud Pasal 81
UU No. 2/2004 dapat diartikan sebagai:
(i) tempat/ lokasi
perusahaan [jika perusahaan tempat pekerja/ buruh bekerja tersebut tidak
memiliki cabang atau kantor perwakilan di daerah lain]; atau
(ii) wilayah penempatan kerja pekerja/
buruh yang ditentukan oleh perusahaan dalam bentuk surat penempatan kerja [jika
perusahaan memiliki cabang/ tempat usaha di beberapa daerah].
Dalam hal, seorang pekerja/buruh diterima bekerja di satu wilayah, kemudian
ditempatkan di wilayah lain, maka wilayah tempat pekerja/buruh bekerja menurut
ketentuan Pasal 81 UU No. 2/2004 adalah wilayah dimana pekerja/buruh terakhir
kali bekerja atau ditempatkan.
Untuk menentukan secara pasti dimana wilayah tempat pekerja/buruh
bekerja, diperlukan adanya bukti surat penempatan kerja yang dikeluarkan
oleh perusahaan selaku pemberi kerja.
Sumber: