Jumat, 21 Juni 2013

SAP KE-7 (KETENTUAN-KETENTUAN POKOK MENGENAI TENAGA KERJA)






UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 14 TAHUN 1969

TENTANG

KETENTUAN-KETENTUAN POKOK MENGENAI TENAGA KERJA



DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,





Menimbang:



  • Bahwa tenaga kerja merupakan modal utama serta pelaksana dari pada pembangunan masyarakat Pancasila;
  • Bahwa tujuan terpenting dari pada pembangunan masyarakat tersebut adalah kesejahteraan rakyat termasuk tenaga  kerja;
  • Bahwa tenaga kerja sebagai pelaksana pembangunan harus jamin haknya, diatur kewajibannya dan dikembangkan daya gunanya;
  • Bahwa berhubung dengan itu perlu diadakan undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan pokok tentang tenaga kerja.

 Mengingat:



  1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) , Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXII/MPRS/1966, No. XXII/MPRS/1966 pasal-pasal 6, 8, 9, 10 dan 14 No. XXVIII/MPRS/1966 pasal 2.



Dengan Persetujuan:

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT GOTONG ROYONG,



MEMUTUSKAN:



Menetapkan:



UNDANG-UNDANG TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK MENGENAI TENAGA KERJA





BAB I

PENGERTIAN DAN AZAS



                        Pasal 1www.hukumonlin

Tenaga kerja adalah tiap-tiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan

kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.



Pasal 2

Dalam menjalankan undang-undang ini serta peraturan-peraturan pelaksanaan tidak boleh diadakan

diskriminasi.





BAB II

PENYEDIAAN PENYEBARAN DAN PENGGUNAAN TENAGA KERJA



Pasal 3

Tiap tenaga kerja berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan.





Pasal 4

Tiap tenaga kerja bebas memilih dan atau pindah pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuannya.



Pasal 5



  1. Pemerintah mengatur penyediaan tenaga kerja dalam kuantitas dan kualitas yang memadai.
  2. Pemerintah mengatur penyebaran tenaga kerja sedemikian rupa sehingga memberi dorongan kearah penyebaran tenaga kerja yang efisien dan efektif.
  3. Pemerintah mengatur penggunaan tenaga kerja secara penuh dan produktif untuk mencapai kemanfaatan yang sebesar-besarnya dengan menggunakan prinsip "Tenaga kerja yang tepat pada pekerjaan yang tepat".



BAB III

PEMBINAAN KEAHLIAN DAN KEJURUAN



Pasal 6

Tiap tenaga kerja berhak atas pembinaan keahlian dan kejuruan untuk memperoleh serta menambah keahlian dan keterampilan kerja sehingga potensi dan daya kreasinya dapat diperkembangkan dalam rangka mempertinggi kecerdasan dan ketangkasan kerja sebagai bagian yang tak dapat dipisahkan dari pembinaan bangsa.



Pasal 7

Pembinaan keahlian dan kejuruan tenaga kerja disesuaikan dengan perkembangan teknik, teknologi dan perkembangan masyarakat pada umumnya.



                                 Pasal 8www.hukumonline.com

Pemerintah mengatur keahlian dan kejuruan tersebut pada pasal 6 dan pasal 7.





BAB IV

PEMBINAAN PERLINDUNGAN KERJA



Pasal 9

Tiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan, kesehatan, kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama.



Pasal 10

Pemerintah membina perlindungan kerja yang mencakup:

1. Norma keselamatan kerja;

2. Norma kesehatan kerja dan hygiene perusahaan;

3. Norma kerja;

4. Pemberian ganti kerugian, perawatan dan rehabilitasi dalam hal kecelakaan kerja.





BAB V

HUBUNGAN KETENAGAKERJAAN



Pasal 11

(1) Tiap tenaga kerja berhak mendirikan dan menjadi anggota perserikatan tenaga kerja.

(2) Pembentukan perserikatan tenaga kerja dilakukan secara demokratis.



Pasal 12

Perserikatan tenaga kerja berhak mengadakan perjanjian perburuhan dengan pemberi kerja.



Pasal 13

Penggunaan hak mogok, demonstrasi dan lock out diatur dengan peraturan perundangan.



Pasal 14

Norma pemutusan hubungan kerja dan penyelesaian perselisihan perburuhan diatur dengan peraturan perundangan.



Pasal 15

Pemerintah mengatur penyelenggaraan sosial dan bantuan sosial bagi tenaga kerja dan keluarganya.



www.hukumonline.com

BAB VI

PENGAWASAN PELAKSANAAN



Pasal 16

Guna menjamin pelaksanaan pengaturan ketenagakerjaan menurut Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya, diadakan suatu system pengawasan tenaga kerja.





BAB VII

KETENTUAN PENUTUP



                                                                                           Pasal 17

  1. Pelaksanaan ketentuan tersebut pada pasal-pasal di atas diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan.
  2. Peraturan perundangan tersebut pada ayat (1) dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah).
  3.  Tindak pidana tersebut adalah pelanggaran.



Pasal 18

Selama peraturan perundangan untuk melaksanakan ketentuan dalam undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang ketenagakerjaan yang ada pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.



Pasal 19

Undang-undang ini disebut: "Undang-Undang Pokok Tenaga Kerja" dan mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



www.hukumonline.com

PENJELASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 14 TAHUN 1969

TENTANG

KETENTUAN-KETENTUAN POKOK MENGENAI TENAGA KERJA

PENJELASAN UMUM



Sesungguhnya pekerja mempunyai makna banyak, luas dan dalam didalam tiap perkelakukan. Makna bekerja ditinjau dari segi perorangan adalah gerak daripada badan dan pikiran setiap orang guna memelihara kelangsungan hidup badaniah maupun rohaniah. Makna bekerja ditinjau dari segi kemasyarakatan adalah melakukan pekerjaan untuk menghasilkan barang atau jasa guna memuaskan kebutuhan masyarakat. Makna bekerja ditinjau dari segi spirituil adalah merupakan hak dan kewajiban manusia dalam memuliakan dan mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di Indonesia asas gotong-royong merupakan ciri khas dari pada kepribadian bangsa dan unsur pokok Pancasila. Oleh karena tenaga kerja adalah sedemikian pentingnya bagi kehidupan bangsa dan merupakan faktor yang menentukan daripada mati hidupnya bangsa itu sendiri, baik fisik maupun kultur, maka perlu diadakan  pengaturan sebaik-baiknya yang dimulai sebelum orang menjadi tenaga kerja sampai ia masuk ke liang kubur.



Sehubungan dengan itu, maka Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ke IV telah menetapkan beberapa Keputusan dan bidang tenaga kerja dan Undang-undang tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja ini dimaksud sebagai perwujudan daripada ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara itu. Akhirnya perlu diterangkan bahwa yang dirumuskan dalam Undang-undang itu adalah pokok-pokok untuk menjamin kedudukan sosial ekonomis tenaga kerja serta arah yang harus ditempuh dalam mengatur kebutuhan sosial ekonomis tenaga kerja dengan cita-cita aspirasi bangsa Indonesia.





PERATURAN MENTERI

TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

NO: PER-14/MEN/IV/2006

TENTANG

TATA CARA PELAPORAN KETENAGAKERJAAN

DI PERUSAHAAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA



Menimbang :



  1. Bahwa tata cara pelaporan ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I.  No.PER-06/MEN/1995 tentang Tata Cara Pelaporan Ketenagakerjaan di Perusahaan, yang penyampaiannya dilaksanakan secara langsung atau melalui pos oleh perusahaan kepada instansi yang membidangi ketenagakerjaan pada Kabupaten/Kota dan selanjutnya oleh instansi yang bersangkutan diteruskan ke instansi yang membidangi ketenagakerjaan pada Propinsi dan Pusat yang saat ini ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga Pemerintah mengalami kendala dalam menetapkan kebijakan mengenai hubungan ketenagakerjaan, perlindungan tenaga kerja dan kesempatan kerja secara nasional.
  2. Bahwa penetapan kebijakan sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah sangat penting terutama menghadapi era globalisasi yang menuntut tersedianya data yang akurat, cepat dan terukur serta sedapat mungkin berbasis teknologi informasi, sehingga penetapan kebijakan dapat mengakomodir kebutuhan hubungan ketenagakerjaan, perlindungan tenaga kerja dan kesempatan kerja dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan perlakuan yang tidak memihak (fair treatment) dan dilaksanakan seragam (equal implementation) untuk seluruh Indonesia.
  3. Bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk mengubah tata cara pelaporan ketenagakerjaan di perusahaan dengan Peraturan Menteri.





Mengingat :



  1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya
  2. Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 Dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Nomor 4 Tahun 1951).
  3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara R.I. Tahun 1970 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 2918);
  4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan (Lembaran Negara R.I. Tahun 1981 Nomor 39 dan Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 3201);
  5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kreja (Lemabaran Negara R.I. Tahun 1992 Nomor 14 dan Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 348);
  6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara R.I. Tahun 2003 Nomor 39 dan Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 4279);
  7. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convension No. 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce (Konvensi ILO Nomor 81 mengenai PengawasanKetenagakerjaan Dalam Industri Dan Perdagangan (Lembaran Negara R.I. Tahun 2003 Nomor 91 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4309);
  8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1980 tentang Wajib Lapor Lowongan Pekerjaan.
  9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/P Tahun 2005.



MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA    TENTANG TATA CARA PELAPORAN KETENAGAKERJAAN DI PERUSAHAAN.



Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

  •  Pengusaha adalah :

  1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu perusahaan milik sendiri; 
  2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
  3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili  perusahaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2, yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.



  • Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang mempekerjakan tenaga kerja dengan tujuan mencari untung atau tidak, baik milik swasta maupun mulik negara;
  • Laporan ketenagakerjaan adalah laporan yang memuat data tentang keadaan ketenagakerjaan di Perusahaan;
  • Pegawai pengawas ketenagakerjaan adalah Pegawai Negeri Sipil pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi yang ditunjuk oleh Menteri dan diserahi tugas mengawasi serta menegakkan hokum dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
  • Basis Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan adalah suatu aplikasi sistem informasi yang mengumpulkan, mengelola dan memverifikasi data dan informasi Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan.
  • Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan Tingkat Nasional adalah data olahan yang menyajikan data dan informasi Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan secara nasional sebagai bahan perumusan kebijakan secara nasional.
  •  Data-DataWajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan Tingkat Provinsi adalah data olahan yang menyajikan data dan informasi Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan yang ada di wilayah propinsi sebagai bahan perumusan kebijakan tingkat provinsi.
  •  Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan Tingkat Kabupaten/Kota adalah data olahan yang menyajikan data dan informasi Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan yang ada di wilayah kabupaten/kota sebagai bahan perumusan kebijakan tingkat kabupaten/kota.



Pasal 2

1)    Pengusaha wajib membuat laporan ketenagakerjaan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya baik pada kantor pusat, cabang maupun pada bagian perusahaan yang berdiri sendiri.

2)     Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Menteri dalam bentuk data elektronik yang dihimpun dalam Basis Data Wajib lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan melalui Sistem Informasi Wajib 

3)    Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan (SINLAPNAKER). 

      

Pasal 3

1)   Laporan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) dibuat dengan menggunakan bentuk laporan ketenagakerjaan sebagaimana tercantum pada lampiran Peraturan Mentri ini.

2)  Basis Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan setelah menerima laporan ketenagakerjaan wajib memberikan tanda penerimaan serta nomor pendaftaran.

3)    Basis Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (2) menghimpun dan menyajikan data wajib lapor ketenagakerjaan untuk skala nasional, provinsi dan kabupaten/kota.

4)    Basis Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan dapat diakses oleh perusahaan atau unit pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang membidangi ketenagakerjaan di Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota melaui jaringan sistem informasi yang telah ditetapkan secara proporsional

5)    Tata cara memperoleh Data Wajib lapor Ketenagakerjaan melalui Basis Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan sebagaimana dimaksud ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan.



                                                                                            Pasal 4

Dalam hal pada Kabupaten/Kota belum terdapat fasilitas yang dapat mengakses data elektronik dari Basis Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan, maka laporan sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (1) disampaikan kepada instansi yang membidangi ketenagakerjaan di kabupaten/kota tempat unit perusahaan berada baik kantor pusat, cabang maupun bagian perusahaan yang berdiri sendiri, dengan tembusan kepada pimpinan instansi yang membidangi ketenagakerjaan di Propinsi dan kepada Menteri secara tertulis.



Pasal 5

  • Penyampaian laporan ketenagakerjaan secara tertulis sebagaimana dimaksud pasal 4 dilakukan secara langsung atau melalui pos tercatat.
  • Dalam hal penyampaian laporan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui pos, maka tanggal dan stempel kantor pos pada bukti pencatatan dimaksud merupakan tanggal penyampaian.
  • Laporan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibuat rangkap 4 (empat) dengan menggunakan bentuk laporan ketenagakerjaan sebagaimana tercantum pada lampiran Peraturan Menteri ini.
  •  Bentuk laporan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disediakantanpa dipungut biaya oleh instansi yang membidangi ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.
  • Instansi yang mebidangi ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota setelah menerimalaporan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mencatat dan memberikan tanda penerimaan serta nomor pendaftaran.
  • Instansi yang membidangi ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota setelah menerima laporan ketenagakerjaan dari perusahaan wajib menyampaikan data laporan ketenagakerjaan dimaksud kepada Menteri.
  • Petunjuk teknis pengisian bentuk laporan ketenagakerjaan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan.

www.legalitas.orgwww.legalitas.org

Pasal 6

Perusahaan yang telah melaporkan keadaan ketenagakerjaan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I. Nomor Per. 06/MEN/1995. tentang Tata Cara Pelaporan Ketenagakerjaan, sebelum Peraturan Menteri ini ditetapkan dinyatakan berlaku sampai dengan kewajiban melapor pada tahun berikutnya.



Pasal 7

Pengawasan terhadap data Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.

Pasal 8

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I. Nomor : Per. 06/MEN/1995 tentang Tata Cara Pelaporan Ketenagakerjaan di Perusahaan dan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep- 170/MEN/1981 tentang Penunjukkan Pejabat yang Diberikan Tugas Menerima Laporan Ketenagakerjaan di Perusahaan dinyatakan tidak berlaku.



Pasal 9

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.



Pengawasan dan Penyidikan dalam Ketenagakerjaan

Proses penegakan hukum bidang ketenagakerjaan selama ini dilakukan melalui upaya atau pendekatan persuasif-edukatif dengan mengedepankan sosialisasi serta informasi tentang peraturan dan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan. Dalam tahapan awal, pemerintah memberdayakan para pengawas ketenagakerjaan untuk melakukan pembinaan dan sosialiasi kepada perusahaan-perusahaan dan pekerja/buruh agar bisa menjalankan aturan-aturan ketenagakerjaan. Pasal 1 angka 32 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

 Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan bersifat independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Pegawai pengawas ketenagakerjaan ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang mempunyai lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan baik di lingkungan pemerintah pusat, maupun di lingkungan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.

Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya wajib:

  1. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
  2. tidak menyalahgunakan kewenangannya.

Pengawas ketenagakerjaan selain bertugas melaksanakan pengawasan ketenagakerjaan juga diberikan kewenangan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penyidik Pegawai Negeri Sipil  berwenang:

  1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
  2. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
  3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
  4. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenaga kerjaan;
  5. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
  6. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
  7. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.

JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) sebagaimana didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, pada prinsipnya merupakan sistem asuransi sosial bagi pekerja (yang mempunyai hubungan industrial) beserta keluarganya. Skema Jamsostek meliputi program-program yang terkait dengan risiko, seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pemeliharaan kesehatan, dan jaminan hari tua. Cakupan jaminan kecelakaan kerja (JKK) meliputi: biaya pengangkutan, biaya pemeriksaan, pengobatan, perawatan, biaya rehabilitasi, serta santunan uang bagi pekerja yang tidak mampu bekerja, dan cacat. Apabila pekerja meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, mereka atau keluarganya berhak atas jaminan kematian (JK) berupa biaya pemakaman dan santunan berupa uang. Apabila pekerja telah mencapai usia 55 tahun atau mengalami cacat total/seumur hidup, mereka berhak untuk memperolah jaminan hari tua (JHT) yang dibayar sekaligus atau secara berkala. Sedangkan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) bagi tenaga kerja termasuk keluarganya, meliputi: biaya rawat jalan, rawat inap, pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan, diagnostik, serta pelayanan gawat darurat. Pada dasarnya program Jamsostek merupakan sistem asuransi sosial, karena penyelenggaraan didasarkan pada sistem pendanaan penuh (fully funded system), yang dalam hal ini menjadi beban pemberi kerja dan pekerja. Sistem tersebut secara teori merupakan mekanisme asuransi. Penyelengaraan sistem asuransi sosial biasanya didasarkan pada fully funded system, tetapi bukan harga mati. Dalam hal ini pemerintah tetap diwajibkan untuk berkontribusi terhadap penyelengaraan sistem asuransi sosial, atau paling tidak pemerintah terikat untuk menutup kerugian bagi badan penyelengara apabila mengalami defisit. Di sisi lain, apabila penyelenggara program Jamsostek dikondisikan harus dan memperoleh keuntungan, pemerintah akan memperoleh deviden karena bentuk badan hukum Persero.

 Kontribusi atau premi yang dibayar dalam rangka memperoleh jaminan sosial tenaga kerja adalah bergantung pada jenis jaminan tersebut. Iuran JKK adalah berkisar antara 0,24 persen – 1,742 persen dari upah per bulan dan atau per tahun, bergantung pada kelompok jenis usaha (terdapat 5 kelompok usaha), dan dibayar (ditanggung) sepenuhnya oleh pengusaha (selaku pemberi kerja). Demikian pula dengan JK, iuran sepenuhnya merupakan tanggungan pengusaha yaitu sebesar 0,30 persen dari upah per bulan. Sementara itu, iuran JPK juga merupakan tanggungan pengusaha yaitu sebesar 6 persen dari upah per bulan bagi tenaga kerja yang sudah berkeluarga, dan 3 persen dari upah per bulan bagi tenaga kerja yang belum berkeluarga, serta mempunyai batasan maksimum premi sebesar satu juta rupiah. Sedangkan iuran JHT ditanggung secara bersama yaitu sebesar 3,70 persen dari upah per bulan ditanggung oleh pengusaha, dan 2 persen dari upah per bulan ditanggung oleh pekerja. Dalam UU No. 3 Tahun 1992, dinyatakan bahwa penyelenggara perlindungan tenaga kerja swasta adalah PT Jamsostek. Setiap perusahaan swasta yang memperkerjakan sekurang-kurangnya 10 orang atau dapat membayarkan upah sekurang-kurangnya Rp 1 juta rupiah per bulan diwajibkan untuk mengikuti sistem jaminan sosial tenaga kerja ini. Namun demikian, belum semua perusahaan dan tenaga kerja yang diwajibkan telah menjadi peserta Jamsostek. Data menunjukan, bahwa sektor informal masih mendominasi komposisi ketenagakerjaan di Indonesia, mencapai sekitar 70,5 juta, atau 75 persen dari jumlah pekerja – mereka belum tercover dalam Jamsostek. Sampai dengan tahun 2002, secara akumulasi JKK telah mencapai 1,07 juta klaim, JHT mencapai 2,85 juta klaim, JK mencapai 140 ribu klaim, dan JPK mencapai 54 ribu klaim. Secara keseluruhan, nilai klaim yang telah diterima oleh peserta Jamsostek adalah sekitar Rp 6,2 trilyun. Namun demikian, posisi PT Jamsostek mengalami surplus sebesar Rp 530 milyar pada Juni 2002.



1.      Masalah Kesehatan Dan Keselamatan Kerja

Kinerja (performen) setiap petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan resultante dari tiga komponen kesehatan kerja yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja yang dapat merupakan beban tambahan pada pekerja. Bila ketiga komponen tersebut serasi maka bisa dicapai suatu derajat kesehatan kerja yang optimal dan peningkatan produktivitas. Sebaliknya bila terdapat ketidak serasian dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja berupa penyakit ataupun kecelakaan akibat kerja yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja.



a)      Kapasitas Kerja

Status kesehatan masyarakat pekerja di Indonesia pada umumnya belum memuaskan. Dari beberapa hasil penelitian didapat gambaran bahwa 30-40% masyarakat pekerja kurang kalori protein, 30% menderita anemia gizi dan 35% kekurangan zat besi tanpa anemia. Kondisi kesehatan seperti ini tidak memungkinkan bagi para pekerja untuk bekerja dengan produktivitas yang optimal. Hal ini diperberat lagi dengan kenyataan bahwa angkatan kerja yang ada sebagian besar masih di isi oleh petugas kesehatan dan non kesehatan yang mempunyai banyak keterbatasan, sehingga untuk dalam melakukan tugasnya mungkin sering mendapat kendala terutama menyangkut masalah PAHK dan kecelakaan kerja.



b)      Beban Kerja

Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun yang bersifat teknis beroperasi 8 - 24 jam sehari, dengan demikian kegiatan pelayanan kesehatan pada laboratorium menuntut adanya pola kerja bergilirdan tugas/jaga malam. Pola kerja yang berubah-ubah dapat menyebabkan kelelahan yang meningkat, akibat terjadinya perubahan pada bioritmik (irama tubuh). Faktor lain yang turut memperberat beban kerja antara lain tingkat gaji dan jaminan sosial bagi pekerja yang masih relatif rendah, yang berdampak pekerja terpaksa melakukan kerja tambahan secara berlebihan. Beban psikis ini dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan stres.



c)       Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja bila tidak memenuhi persyaratan dapat mempengaruhi kesehatan kerja dapat menimbulkan Kecelakaan Kerja (Occupational Accident), Penyakit Akibat Kerja dan Penyakit Akibat Hubungan Kerja (Occupational Disease & Work Related Diseases).



 

A.      Tinjauan Tentang Tenaga Kesehatan 



1.      Pengertian Tenaga Kesehatan

Kesehatan merupakan hak dan kebutuhan dasar manusia. Dengan demikian Pemerintah mempunyai kewajiban untuk mengadakan dan mengatur upaya pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau rakyatnya. Masyarakat, dari semua lapisan, memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mendapat pelayanan kesehatan. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketermpilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan, baik berupa pendidikan gelar-D3, S1, S2 dan S3-; pendidikan non gelar; sampai dengan pelatihan khusus kejuruan khusus seperti Juru Imunisasi, Malaria, dsb., dan keahlian. Hal inilah yang membedakan jenis tenaga ini dengan tenaga lainnya. Hanya mereka yang mempunyai pendidikan atau keahlian khusus-lah yang boleh melakukan pekerjaan tertentu yang berhubungan dengan jiwa dan fisik manusia, serta lingkungannya.

Tenaga kesehatan berperan sebagai perencana, penggerak dan sekaligus pelaksana pembangunan kesehatan sehingga tanpa tersedianya tenaga dalam jumlah dan jenis yang sesuai, maka pembangunan kesehatan tidak akan dapat berjalan secara optimal. Kebijakan tentang pendayagunaan tenaga kesehatan sangat dipengaruhi oleh kebijakan kebijakan sektor lain, seperti: kebijakan sektor pendidikan, kebijakan sektor ketenagakerjaan, sektor keuangan dan peraturan kepegawaian. Kebijakan sektor kesehatan yang berpengaruh terhadap pendayagunaan tenaga kesehatan antara lain: kebijakan tentang arah dan strategi pembangunan kesehatan, kebijakan tentang pelayanan kesehatan, kebijakan tentang pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, dan kebijakan tentang pembiayaan kesehatan. Selain dari pada itu, beberapa faktor makro yang berpengaruh terhadap pendayagunaan tenaga kesehatan, yaitu: desentralisasi, globalisasi, menguatnya komersialisasi pelayanan kesehatan, teknologi kesehatan dan informasi. Oleh karena itu, kebijakan pendayagunaan tenaga kesehatan harus memperhatikan semua faktor di atas. 



2.      Jenis Tenaga Kesehatan

Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketermpilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan, baik berupa pendidikan gelar-D3, S1, S2 dan S3-; pendidikan non gelar; sampai dengan pelatihan khusus kejuruan khusus seperti Juru Imunisasi, Malaria, dsb., dan keahlian. Hal inilah yang membedakan jenis tenaga ini dengan tenaga lainnya. Hanya mereka yang mempunyai pendidikan atau keahlian khusus-lah yang boleh melakukan pekerjaan tertentu yang berhubungan dengan jiwa dan fisik manusia, serta lingkungannya.

Jenis tenaga kesehatan terdiri dari :

a.       Perawat

b.       Perawat Gigi

c.       Bidan

d.       Fisioterapis

e.       Refraksionis Optisien

f.        Radiographer

g.       Apoteker

h.       Asisten Apoteker

i.         Analis Farmasi

j.        Dokter Umum

k.       Dokter Gigi

l.         Dokter Spesialis

m.     Dokter Gigi Spesialis

n.       Akupunkturis

o.       Terapis Wicara dan

p.       Okupasi Terapis.





Referensi:














Tidak ada komentar:

Posting Komentar